Rabu, 03 Desember 2014

Teori Roman Ingarden

Analisis Puisi Teori Roman Ingarden      
 Puisi(sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian- bagian serta jalinannya secara nyata. Roman Ingarden membagi elemen-elemen puisi menjadi dua lapis norma yaitu lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak. Lapis metafisis, berupa sifat- sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat- sifat ini seni dapat memberikan renungan atau kontenplasi (kepada pembaca). Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu. Simpulan Ingarden lahir di Kraków, Austria-Hungaria, pada tanggal 5 Februari 1893. Dia pertama kali belajar matematika dan filsafat di Lwów bawah Kazimierz Twardowski, kemudian pindah ke Göttingen untuk belajar filsafat di bawah Edmund Husserl. Dia dianggap oleh Husserl untuk menjadi salah satu siswa terbaik dan disertai Husserl ke Freiburg, di mana pada tahun 1918 Ingarden diserahkan disertasi doktornya dengan Husserl sebagai direktur. Ingarden adalah fenomenolog realis, dan dengan demikian tidak menerima idealisme transendental Husserl. Ingarden adalah salah satu yang paling terkenal ontologists fenomenologis, karena ia berusaha untuk menggambarkan struktur ontologis dan negara menjadi berbagai objek didasarkan pada fitur penting dari setiap pengalaman yang bisa memberikan pengetahuan tersebut.Yang dikenal karya terbaik dari Ingarden, dan yang hanya diketahui sebagian besar berbahasa Inggris pembaca, estetika keprihatinan dan sastra. Fokus eksklusif pada pekerjaan Ingarden dalam estetika adalah batas tertentu disayangkan dan menyesatkan tentang sudut pandang keseluruhan filsafatnya. Roman Ingarden membagi elemen-elemen puisi menjadi beberapa lapis, yaitu makna, dunia rekaan yang diciptakan pengarang, point of view yang berkaitan dengan masalah penyikapan, dan metafisis. Keseluruhan aspek makna yang terkandung dalam lapis makna itu terpapar lewat media bunyi yang berkaitan dengan tata bahasa, yakni morfologi dan sintaksis yang dalam penelaahannya tidak dapat dilepaskan dari telaah makna yang berhubungan dengan berbagai model pemaknaan yang ada. Lapis makna dijabarkan lagi menjadi lapis bunyi, lapis arti, dan lapis objek, lapis dunia, lapis metafisis. Analisis Ingarden itu dikemukakan Rene Wellek dan Austin Warren sebagai berikut. Karya sastra itu terdiri atas lapis-lapis norma. Lapis norma yangh di atas menimbulkan lapis dibawahnya. Begitu, seterusnya. Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi. Lapis bunyi menimbulkan lapis kedua, yaitu lapis arti. Lapis norma ketiga adalah lapis mnorma pengarang. Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi, yang menurut Wellek dapat disatukan dengan lapis ketiga, lapis dunia pengarang. Analisis Ingarden ini adalah analsis yang sangat maju, tetapi ada kekurangannya kerana tidak menghubungkan dengan penilaian . Unsur-unsur karya sastra tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai mengingat karya sastra adalah karya seni yang fungsi estetisnya adalah dominant. Oleh karena itu, dalam menganalisis karya satra , termasuk puisi, ditunjukkan satuan-satuan estetis dari tiap-tiap norma dan fungsinya dalam struktur tersebut. Analsis lapis bunyi dan lapis itu arti sarana yang terpenting untuk memahami puisi. Hal ini disebabkan oleh puisi itu bersifat liris. Oleh karena itu sarana ekspresinya yang utama berupa satuan bunyi dan satuan arti. Sebaliknya, prosa bersifat epis atau naratif, amaka sarana utamanya satuan penceritaan, lapis dunia pengarang. Satuan-satuan estetik bunyi adalah persajakan, kiasan bunyi, dan orkestrasi. Dalam puisi, satuan-satuan bunyi itu saling berjalinan untuk mendapatkan ekspresivitas yang intensif. Bahkan juga satuan-satuan estetik lapis arti untuk mendapatkan nilai seni sebanyak-banyaknya. Di antara satuan estetik bunyi adalah sajak. Sajak adalah ulangan bunyi, baik, berupa asonansi, aliterasi, sejak awal, sajaka dalam, sajak akhir, maupun sajak tengah. Dalam pusisi lama ada pola sajak (sajak akhir) yang megikat. Dalam puisi periode berikutnya persajakan sebagai sarana kepuitisan, tetapi disesuaikan dengan fungsi ekspresivitasnya, tidak uasah harus terpola. Bahkan, ada kecenderungan untuk tidak mempergunakan persajakan pada periode 1970-1990 karena sajak ditulis seperti bentuk formal prosa. Disamping persajakan , sarana kepuitisan bunyi berupa orkestrasi. Orkestrasi adalah bunyi musik pada puisi. Orkestrasi ini berupa penggabungan unsur-unsur kepuitisan bunyi yang menyebabkan merdu dan berirama. Orkestrasi bunyi yang merdudisebut efoni, sedangkan orkestrasi bunyi parau disebut kakofeni. Satuan-satuan estetik lapis arti diantaranya berupa diksi, bahasa kiasan, dan sarana retorika. Diksi adalah pemilihan kata setepat-tepatnya. Pemilihan kata itu disesuaikan dengan ekspresi bunyi, ketepatan arti yang sesuai dengan gagasan sajak, konsep estetik, dan warna setempat (local colour). Bahasa kiasan ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang sebetulnya tidak sama. Bahasa kiasan itu memperjelas gambaran angan (citraan). Ada beberapa jenis bahasa kiasan: perumpamaan(simile), metafora, personifikasi, metonimi, sinekdoki, perumpamaan epos (epic smile), dan alegori. D samping bahasa kiasan, sarana kepuitisan untuk mendapatkan nilai estetik adalah sarana retorika (rhetorical device). Sarana retorika ini ialah muslihat pikiran; berupa pemanipulasian penggunaan bahasa untuk menarik perhatian dan membuat pembaca berkontemplasi. Sarana ini banyak jenis dan ragamnya. Di antaranya adalah pleonasme, tautology, paradoks, enomerase, pararelisme, silepsis, repetisi, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar