Sabtu, 29 November 2014

Sejarah Sastra Lama (Angkatan Pujangga Baru)

Sejarah singkat tentang Pujangga Baru Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah. Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya. Angkatan Pujangga Baru Sebuah angkatan sastra yang muncul pada tahun 1933 di bawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat kebangsaan dan pembentukan budaya bam dalam gaya romantik, secara resmi muncul bersamaan terbitnya majalah mereka, Poedjangga Baroe, pada bulan Mei 1933. Kebanyakan karya angkatan ini berupa puisi baru yang bentuknya berbeda dengan puisi sebelumnya, misalnya syair dan pantun. Para sastrawan yang menulis jauh sebelum tahun 1933 adalah Muhammad Yamin (Tanah Air, 1922), Sanusi Pane (Pancaran Cinta, 1925), Rustam Effendi (Percikan Permenungan, 1926), A. Rivai Yogi (Puspa Aneka, 1931). Majalah Poejangga Baroe merupakan majalah kesusastraan, bahasa dan kebudayaan umum yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana dengan sekretaris redaksi Armijn Pane dan para pembantu tetap Sanusi Pane, Or. Madank, Amir Hamzah dan Ipih A. Hadi. Majalah ini menampung, mengikat dan memberikan kesempatan kepada para sastrawan yang sehaluan dari selumh pellosok Indonesia menelurkan gagasannya. lsi majalah berupa puisi, cerita pendek, roman, drama, esai, kritik sastra, di samping telaah seni dan kebudayaan umumnya. Para penulisnya adalah golongan terpelajar dan intelektual Indonesia. Tidak mengherankan apabila angkatan sastra ini sering disebut terpengaruh Gerakan '80 atau De Tachtiger di Negeri Belanda. Dan tidak aneh pula apabila beberapa sastrawannya masih menulis esai dan drama dalam bahasa Belanda. Namun semangat kebangsaan mereka menonjol dalam tema dan dalam penggunaan bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu, bagi karya-karya mereka. Pengungkapan kembali zaman kejayaan masa silam menunjukkan rasa bangga mereka terhadap milik sendiri. Ciri pembentukan budaya baru tampak dari esai, polemik dan fiksi mereka. Kebudayaan lama dianggap statis, dan persoalannya hanya sebatas konflik antara kampung dan kota. Dalam kebudayaan baru, mereka telah mempersoalkan Timur dan Barat. Dalam masalah ini, kaum Pujangga Baru terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Sutan Takdir Alisjahbana yang cenderung Timur dalam pembentukan budaya baru Indonesia dan kubu lainnya yang cenderung ke Barat. Pertentangan dua kubu ini terkenal sebagai Polemik Kebudayaan, berdasarkan nama buku kumpulan tulisan tentang perdebatan tersebut, yang ditulis oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948. Sifat romantik angkatan ini tampak dari karya-karya penulisnya yang sering tenggelam dalam renungan kesunyian, pengembaraan dalam alam ide dan filsafat serta pelarian kepada kejayaan masa lampau. Semua itu melahirkan impianimpian indah dan khayalan kesempurnaan. Dambaan terhadap kesempurnaan dan keindahan ini tidak hanya terdapat dalam tema sastra mereka, tetapi juga dalam ungkapan-ungkapan bunyi kata, serta objek-objek yang indah. Semangat romantik ini tampak pula dalam ide kebebasan individu yang mereka anut. KESUSASTRAAN ANGKATAN PUJANGGA BARU A. Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Pujangga Baru Awal mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana , beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane . Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori olehSutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu : 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah 2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi. Karya sastra• Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana • Tebaran Mega • Belenggu oleh Armijn Pane • Jiwa Berjiwa • Gamelan Jiwa • Jinak-jinak Merpati • Kisah Antara Manusia • Nyanyian Sunyi oleh Tengku Amir Hamzah • Buah Rindu • Pancaran Cinta oleh Sanusi Pane • Puspa Mega • Madah Kelana • Sandhyakala ning Majapahit • Kertajaya • Tanah Air oleh Muhammad Yamin • Indonesia Tumpah Darahku • Ken Angrok dan Ken Dedes • Kalau Dewi Tara Telah Berkata • Percikan Permenungan oleh Rustam Effendi • Bebasari • Kalau Tak Untung oleh Sariamin • Pengaruh Keadaan • Rindu Dendam oleh J.E.Tatengkeng. B. Tujuan didirikannya Pujangga Baru 1. Menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis di berbagai majalah. 2. Untuk membangun kebudayaan Indonesia baru karena maraknya kesadaran nasionalisme. C. Tokoh-tokoh pada periode Pujangga Baru 1. Sutan Takdir Alisyahbana, kelahiran Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, meninggal di Jakarta, 17 Juli 1986. Pujangga ini seorang ilmuwan dan filsuf bergelar Sarjana Hukum, Doktor Honoris Causa dan professor. Ia sangat terkenal dengan roman bertendennya Layar Terkembang(1936). Roman-romannya yang lain: Dian nan Tak Kunjung Padam(1932), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940). Tebaran Mega (1935) merupakan kumpulan sajak yang menandai kepenyairannya. Ternyata, Sutan Takdir tidak hanya hebat di zamannya. Pada masa pascakemerdekaan, bahkan setelah tergulungnya Lekranya PKI, Sutan Takdir pun ikut memasang bintang-bintang di pelataran langit kesusastraan Indonesia dengan dua romannya, masing-masing lebih 500 halaman Grota Azura (tiga jilid, 1970-1971) dan Kalah dan Menang(1978) serta kumpulan sanjak Lagu Pemacu Ombak(1978). Sebagai ilmuwan, S. Takdir Alisjahbana menulis antara lain: 1) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) 2) Puisi Lama (bunga rampai, 1941) 3) Puisi Baru (bunga rampai, 1946) 2. Amir Hamzah, dilahirkan di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911, gugur dalam suatu revolusi sosial di Sumatra Utara, Maret 1946. Penyair berdarah biru yang dijuluki “Raja Penyair Pujangga Baru” oleh H.B. Jassin dan “Pangeran dari Seberang” oleh N.H. Dini ini, mewarisi kita kumpulan-kumpulan sanjak: Buah Rindu, Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur: (sanjak terjemahan penyair-penyair Asia tempo dulu) serta Sastra Melayu dan Raja-rajanya. Amir Hamzah memperoleh Satya Lencana Kebudayaan pada tahun1969 atas antologi puisinya Nyanyi Sunyi Pada tanggal 10 November 1975 secara anumerta Amir Hamzah diangkat sebagai Pahlawan Nasional karena jasanya terhadap Republik dalam menentang penjajah Belanda melalui himpunan Pemuda Indoonesia yang diketuainya di Solo. 3. Sanusi Pane, dilahirkan di Muara Sipongi Sumatra Utara, 14 November 1905, meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Ia menulis naskah-naskah drama Sandyakalaning Majapahit, Kertadjaya dan cerita bersetting negerinya Rabindranath Tagore Manusia Baru. Sebagai penyair, Sanusi Pane menulis antologi sanjak Madah Kelana dan Puspa Mega Karya-karyanya yang lain: Pancaran Cinta (1926), Airlangga (dalam bahasa Belanda, 1928), Sejarah Indonesia (1942), Indonesia Sepanjang Masa (1952), Bunga Rampai dariHikayat Lama (1946).. 4. Armijn Pane, adik kandung Sanusi Pane, dilahirkan di Muara Sipongi, 18 Agustus 1908, meninggal di Jakarta, 11 Februari 1970. Ia terkenal dengan roman psikologinya yang sempat mencengangkan masyarakat yang moralis dan pernah terpalang Nota Rinkes karena terlalu beraninya, berjudul Belenggu. Armijn juga menulis Jinak-Jinak Merpati (kumpulan cerpen), Gamelan Jiwa dan Jiwa Berjiwa keduanya kumpulan puisi. Ia juga menulis kumpulan cerpen Kisah antara Manusia (1953), serta menerjemahkan Surat-surat R.A. Kartini untuk Ny.Abendanon dan sahabat Kartini yang lain, menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang (1968) dan novel Membangun Hari Kedua (1956, dari karya Ilya Ehrenburg) Sastrawan-sastrawati yang seangkatan dengan mereka adalah: 5. Yan Engelbert Tatengkeng, dilahirkan di Sangihe, Sulawesi, 19 Oktober 1907, meninggal di Makassar, 6 Maret 1968. Ia terkenal dengan kumpulan sanjaknya Rindu Dendam, sama dengan salah satu judul puisi dalam buku tersebut. Kebanyakan puisinya bernafaskan religius Kristiani. 6. Selasih/Sariamin, dilahirkan di Sumatra Barat, 31 Juli 1909. Dia tersohor dengan roman-roman sosialnya Pengaruh Keadaan dan Kalau Tak Untung. Selain roman-roman tersebut, ditulisnya pula: Rangkaian Sastra (1952), cerita-cerita anak Renca Juara (1981), Cerita Kak Murai (1984), Nakhoda Lancang (1982), serta novel Kembali ke Pangkuan Ayah (1986). 7. I Gusti Nyoman Anak Agung Panji Tisna, termasuk keturunan raja di Bali, dilahirkan di Singaraja, 8 Februari 1908, meninggal di Singaraja, 1976, terkenal. dengan roman-romannya Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu. Karya-karyanya yang lain: Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Dewi Karuna (1938), I Made Widiadi/Kembali kepada Tuhan (1954). 8. Hanidah/Fatimah Hasan Delais, dilahirkan di Bangka, 8 Juni 1914, meninggal di sana, Mei 1953, terkenal dengan novel sosialnya berjudul Kehilangan Mestika; 9. Suman Hs. (Hasibuan), dilahirkan di Bengkalis 1905, meninggal di Pakanbaru, 8 Mei 1999, termasyhur dengan karya-karya novelnya: Percobaan Setia, Kasih Tak Terlerai, Mencari Pencuri Anak Perawan. Suman Hs yang terkenal sebagai tokoh pendidikan di daerahnya, juga menulis novel Kasih Tersesat (1932), Tebusan darah (1939), serta kumpulan cerpen Kawan Bergelut. 10. Marius Ramis Dayoh, dilahirkan di Airmadidi, Minahasa, 1909, meninggal di Bandung, 15 Mei 1975. Ia menulis roman sejarah Pahlawan Minahasa, Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931), antologi puisi Syair untuk ASIB (1935), Putera Budiman (1941), Ratna Rakyat (1951), Koobangan (1953), dan Mamanua (1969). 11. Saadah Alim, dilahirkan di Padang.9 Juni 1897, meninggal di Jakarta, 18 Agustus 1968. Berpegalaman sebagai guru HIS dan Sekolah Guru Wanita di Padang pada zaman Belanda. Dari tahun 1924 sampai 1940 menjadi penulis di Bintang Hindia, Panji Pustaka, Het Dagblad dan Volks courant. Karya-karyanya: drama Pembalasannya (1940); terjemahan novel AnginTimur dan Angin Barat (karya Pearl S. Buck, 1941); Marga Tidak Tegak Sendiri (karuya Freddy Vagers, 1949); Zuleika Menyingsingkan Lengan Bajunya (karya Reisco). D. Ciri-ciri Pujangga Baru 1. bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, 2. Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya, 3. Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, 4. Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda, 5. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan 6. Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan. 7. Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi. 8. Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis. Ciri-ciri karya sastra angkatan pujangga baru yaitu: 1) Jenis sastra puisi sangat dominan,dan cerita pendek semakin banyak ditulis begitu juga dengan drama; 2) Struktur Estetika Puisi: a. Puisinya puisi baru bukan pantun dan syair ada sonata dari Barat dan balada; b. Pilihan kata-katanya indah; c. Bahasa kiasan utama dan bentuknya simetris; d. Gaya ekspresi aliran romantik; e. Gaya sajaknya polos,hubungan antar kalimat jelas,hampir tidak ada ambigu; f. Persajakan (rima) merupakan salah satu sarana kepuitisan utama. 3) Prosa: a. Alurnya lurus; b. Teknik perwatakan tidak langsung,deskriptif fisik sedikit; c. Tidak banyak digresi,gayanya romantik; d. Sudut pandang orang ketiga; e. Gaya bahasanya tidak dengan perumpamaan klise; f. Masalahnya bersangkutan dengan kehidupan masyarakat kota,emansipasi wanita,dan lain-lain; g. Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan sangat mewarnai; h. Bersifat didaksis E. Contoh analisis hasil karya sastra Pujangga Baru Judul : Sukreni Gadis Bali Karya : I Gusti Nyoman Panji Tisna Tahun terbit I : 1936 Sinopsis : Men Negara berasal dari Karangasem, Bali. Ia meninggalkan daerah itu karena suatu persoalan dengan suaminya. Buleleng adalah tempat tujuannya. Mula-mulai ia menumpang di rumah seorang haji yang mempunyai tanah dan kebun yang luas. Namun, karena Men Negara rajin bekerja dan hemat, ia kemudian dapat memiliki kebun sendiri. Ketika pergi dari Karangasem, ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia delapan bulan. Di tempat ini ia melahirkan dua orang anak bernama I Negara dan Ni Negeri yang berparas cantik dan dapat menarik para pekerja pemetik kelapa untuk singgah di warungya. Disamping itu, Men Negara pun pandai memasak sehingga masakannya selalu disukai oleh para pekerja itu. Di antara mereka yang datang ke warung Men Negara adalah I Gde Swamba, seorang pemilik kebun kelapa itu. Tak luput dari semua itu, Ni Negeri dan sudah tentu pula ibunya, mengharapkan agar anak gadisnya itu dapat memikat I Gde Swamba menjadi suaminya. Suatu ketika, datanglah seorang manteri polisi bernama I Gusti Made Tusan ke daerah itu. Sebagai manteri polisi, ia disegani dan ditakuti penduduk. Banyak sudah kejahatan yang berhasil ditumpasnya. Ini berkat kerjasamanya dengan seorang mata-mata bernama I Made Aseman. Siang itu hampir saja Men Negara harus berurusan dengan I Gusti Made Aseman karena I Made Aseman mengetahui bahwa Men Nagara telah memotong babi tanpa surat izin dari yang berwenang. I Made Aseman sangat berharap agar Men Nagara dipenjarakan di Singaraja karena kesalahannya itu. Jika Men Nagara negara masuk penjara, para pemetik kelapa akan pindah ke warung iparnya. Namun, apa yang diharapkan I Made Aseman sia-sia belaka karena tuannya, I Gusti Made Tusan telah terpikat oleh tutur kata dan senyum Ni Negeri. Siang itu, Ida Gde Swamba dan para pemetik kelapa sedang makan dan minum di warung Men Nagara. Tanpa sepengetahuan mereka, datang seorang gadis bernama Luh Sukreni ke warung Men Nagara. Ia mencari I Gde Swamba untuk urusan sengketa warisan dengan kakaknya, I Sangia(Petrus Sudana) yang telah masuk agama kristen. Menurut adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih agama lain, baginya tak ada hak untuk menerima harta warisan. Namun kedatangan Luh Sukreni itu justru membuat Men Nagara dan Ni Negeri iri hati, apalagi Sukreni yang lebih cantik itu menanyakan Ida Gde Swamba. Ketika Menteri polisi itu tampak tertarik pada Sukreni dan berniat menjadikan Ni Sukreni sebagai wanita simpanannya, dicarinyalah siasat agar keinginan Menteri Polisi terpenuhi. Pada kedatanganya yang kedua, Luh Sukreni kembali menanyakan Ida Gde Swamba di warung Men Negara. Namun orang yang dicarinya tak ada. Dengan ramah dan senyum manis, ibu dan anak menerima Luh Sukreni bahkan mereka memintanya untuk bermalam di warungnya sampai Ida Gde Swamba tiba. Tanpa prasangka buruk, Luh Sukreni menerima tawaran itu. Saat itulah Men Negara menjalankan siasat jahatnya. Pada malam harinya, Luh Sukreni diperkosa oleh I Gusti Made Tusan. “Terima kasih Men Negara, atas pertolonganmu itu, hampir-hampir tak berhasil tetapi…”. Begitulah I Gusti Made Tusan menyatakan kesenangannya atas siasat busuk Men Negara. Sejak kejadian itu Luh Sukreni pergi entah kemana. Alangkah terkejutnya Men Negara ketika I Negara, anaknya yang tidak bersama I Sudiana teman seperjalanan Luh Sukreni, mengatakan bahwa Ni Sukreni adalah anak kandung Men Negara sendiri. Ayah Ni Sukreni, I Nyoman Raka telah mengganti nama Men Widi menjadi Ni Sukreni. Perubahan nama itu dimaksudkan agar Ni Sukreni tak dapat diketahui lagi oleh ibunya. Men Negara sangat menyesal karena ia telah mengorbankan anaknya sendiri. Ni Sukreni tak mau kembali ke kampungnya. Ia sangat malu apabila kejadian itu diketahui oleh ayahnya dan orang-orang di kampungnya. Ia mengembara entah kemana. Namun, Pan Gumiarning, salah seorang sahabat ayahnya, mau menerima Ni Sukreni untuk tinggal di rumahnya. Tak lama kemudian. Ni Sukreni melahirkan seorang anak dari hasil perbuatan jahat I Gusti Made Tusan. Anak itu diberi nama I Gustam. Takdir telah menentukan Ni Sukreni dapat bertemu kembali Ida Gde Swamba. Semua itu berkat pertolongan I Made Aseman yang pada waktu itu sedang menjalani hukuman di Singaraja karena telah memukul I Negara sampai tak sadarkan diri. Ida Gde Swamba berjanji akan mengurus dan membiayai anaknya itu. I Gustam ternyata tumbuh dengan perangai dan tabiat yang kasar. Sewaktu berusia dua belas tahun, ia sudah berani memukul kepala ibunya. Setelah dewasa, ia berani pula mencuri sampai akhirnya masuk tahanan polisi. Di dalam tahanan, I Gustam justru banyak memperoleh pelajaran cara merampok dari I Sintung, salah seorang perampok dan penjahat berat yang sudah terkenal keganasannya, ahli dalam hal perampokan dan kejahatan. Setelah keluar dari penjara, I Gustam membentuk sebuah kelompok. I Sintung yang ketika di dalam penjara sebagai gurunya, kini bertekuk lutut di bawah perintah I Gustam yang tak segan-segan membunuh siapa saja yang menentang perintahnya. Pada suatu malam, kelompok yang dikepalai I Gustam melaksanakan aksi perampokan di warung Men Negara. Namun rencana itu sudah diketahui oleh aparat keamanan. Perampokan di Men Negara mendapat perlawanan dari polisi yang dipimpin oleh I Gusti Made Tusan. I Gusti Made Tusan sendiri tidak mengenal bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah anaknya sendiri. Maka ketika I Gustam hampir putus asa karena terkena kelewang ayahnya, I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya sendiri, setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak itupun tersungkur dan mati. Unsur Intrinsik : a. Tema : Persaingan Bisnis b. Alur : Alur Maju c. Sudut pandang pengarang: Orang ketiga d. Latar/setting Waktu : pagi, siang, sore, malam Tempat : kedai, kebun kelapa (desa Bingin Bandjah), Hotel milik tionghoa (desa Singaradja), Hotel (desa Pabean), Rumah Pan Gumiarning (desa Bandjar Bali) Suasana : Menyedihkan, mengharukan, menegangkan dan bahagia. e. Penokohan a) Ni Widi/Luh Sukreni : cantik, lemah lembut, penyayang, sabar, pemaaf, baik hati b) I Gusti Made Tausan : jahat, licik, pencemburu, dan mata keranjang c) Ida Gde Swamba : pemaaf, cerdas, disiplin, dan pekerja keras d) Men Negara : licik, pembohong, matrealistis, suka iri e) Ni Negari : pembohong, pandai bertutur kata, licik, suka iri f) I Made Aseman : setia, tidak mudah percaya dengan orang, jujur, bertanggungjawab g) I Gustam : jahat, suka merampok dan berjudi, pemarah, kasar f. Nilai-nilai yang terkandung Nilai Kebudayaan 1) Menurut adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih agama lain, baginya tak ada hak untuk menerima harta warisan. 2) Memotong/menyembelih babi harus ada surat izin dari yang berwenang 3) Pembagian warisan akan dilakukan setelah upacara ngaben 4) Menurut kepercayaan orang Bali, setan berkeliaran pada malam hari dan suka masuk ke badan orang yang kosong, yang tidak memakai jimat Nilai Sosial 1) Walaupun agama Hindu bersistem kasta, tapi penduduk Bali tetap bergaul sama rata dan yang akan membedakannya adalah ketika upacara adat 2) Di Bali tidak membeda-bedakan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya Nilai Pendidikan 1) Seorang yang berpendidikan tinggi, akan mendapatkan pekerjaan yang tinggi pula 2) Seorang wanita harus banyak belajar, agar kelak dapat melayani suami dengan baik g. Amanat ü Hendaklah kita berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, karena penyesalan datangnya belakangan ü Bagaimana pun besarnya cobaan dan derita yang kita hadapi, sebaiknya kita sabar dan tetap semangat dalam menjalani hidup ü Janganlah mencintai seseorang hanya karena harta, derajat dan kedudukan yang dimilikinya. ü Berhati-hatilah dalam memilih teman, karena teman yang baik akan menjadikan kita baik, begitupun sebaliknya ü Sekecil apapun rejeki yang kita dapat, kita harus tetap mensyukurinya Unsur Ekstrinsik 1. Latar belakang pengarang Anak Agung Pandji Tisna (lahir di Buleleng, 11 Februari 1908 – meninggal 2 Juni 1978 pada umur 70 tahun), dalam sumber lain disebutkan meninggal tahun 1976 [1] yang dikenal pula dengan nama A.A. Pandji Tisna, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Nama Anak Agung Pandji Tisna dipergunakan sejak tahun 1938, diubah dari nama I Gusti Njoman Pandji Tisna. Pada saat Pandji Tisna lahir,Buleleng berada di bawah pemerintahan Belanda sejak 1872. Meskipun ayahnya hanya diangkat sebagai administratur oleh Pemerintah Belanda, namun Anak Agung Putu Djelantik adalah pewaris tahta kerajaan. Pandji Tisna lahir dalam budaya dan kepercayaan Hindu-Bali, serta tumbuh di istana kerajaan Singaraja, di mana ia mengalami dan menyaksikan sendiri kekayaan artistik istana. Antara usia tujuh hingga tujuh belas tahun, Pandji Tisna belajar di sekolah menengah Belanda, mula-mula di Singaraja, kemudian dilanjutkan di Batavia (Jakarta). Sekolahnya tidak dilanjutkan, lalu ia kembali ke Singaraja, bekerja membantu ayahnya sebagai sekretaris pribadi. Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana. Bahasa ibu Pandji Tisna adalah bahasa Bali. Ia belajar bahasa Belanda saat bersekolah. Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun. Meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya. Sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali, ''I Swasta: Setahun di Bedahulu'', dan ''Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara Dunia''. Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera. Pada 1942, Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali. Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang. Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing. Pada tahun 1945, menjelang takluknya Jepang ayah Pandji Tisna meninggal. Sebagai putra sulung, ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pemimpin Buleleng, wilayah di bagian utara Bali pada 1944. Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho". Menjelang akhir tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Pandji Tisna menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung), yang beranggotakan delapan pemimpin wilayah Bali, dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur. Pada awal tahun 1946, pada usia 38, Anak Agung Pandji Tisna berpindah agama, dari beragama Hindu menjadi beragama Kristen, sebuah tindakan yang berbeda di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu dan memandang agama sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan etnisitas. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng. Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir. Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya. Karakteristik Novel • mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya(mengutamakan psikologi). • Isi roman ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan. • Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis • Alurnya lurus • Sudut pandang orang ketiga; • Gaya bahasanya tidak dengan perumpamaan klise Sumber : http://aphincute.blogspot.com/2012/11/sejarah-sastra-indonesia-zaman-pujangga.html diunduh pada tanggal 11 Maret 2014, pukul 13.50 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar