Rabu, 26 November 2014



“INI SEBUAH CERITA”
Oleh : Andika Ayu Ponnita


Cerita ini tidak menarik untuk di ceritakan, dan tidak layak di baca, cerita ini hanya
sebuah jawaban dari kata sekian.
Tidak punya awalan bahkan ahkiran.
Berambut ikal,  berpostur tinggi tidak dan pendek pun tidak, dia hanya seseorang lelaki yang berumur 17 tahun, namun memiliki keinginan yang sangat tinggi.
Dia lahir dari golongan keluarga biasa, di beri nama oleh orang tuanya Rio Aditya Paska, dan biasa di sapa dengan panggilan Adit, dia sekarang duduk kelas 3 di bangku Sekolah Menengah  Atas (SMA) di kotanya. Dan dalam hitungan hari Surat dari Mendiknas akan menentukan titik puncak dari perjuangan studi selama ini yang diampuh 3 tahun silam.
Adit  lahir dari tiga bersaudara, kakak perempuan dan adek laki-laki.

Di kala malam
Kau dan aku berdiang pada api unggun
Yang membara dalam dada
Lambangkan hasrat pada titik puncak rasa
Lirih tawa beradu desah bersama butiran peluh
Dan kau bisikan kata yang tak ku mengerti
Bius tanpa gerak hanya hembusan frasa yang ku dengar
Lirih namun menggetarkan
Tanpa ku sadari fajar menjemput malam
Suara gemuruh sang merpati kembali menyapa


Tahun 2010 adalah tahun di mana cerita ini di mulai, namun bukan dari awal cerita.
Awal atau akhir itu bukan suatu yang harus namun itu pasti.

Hati Tanpa Pikir
Alur gerak mengukur mundur
Menerawang awan hati
Kosong tiada penghuni
Lekat mata menerang benderang
Hanya sedebu benarnya perbuatan
Disisi gelapnya tiada lagi cahaya
Palsu itu terlalu nyata
Karena tabir hatipun  tiada terbuka
Seperti kisah..!!
Dunia ini laksana permainan saja
Terlalu rakus lidah memijat bibir
Cuman mengepulkan asap lamunan
dari cerobong bibir tembakau yang terbakar sesal
Terlalu mudah diri ini tidak mengaku salah
Meski sejatinya kita berpijak pada alfa salah yang nyata


Dit, Adit bangun udah siang, ini kan hari pertama kamu masuk sekolah. “ Ujar Nina (kakak Adit)“
Iya iya kak ini bangun.. “balas Adit”
Udah buruan bangun, jangan malas-malasan.. “ setak Nina lagi”
Iya kak, bawel amat sih. “ balas Adit menuju kamar mandi”
Sambil mata setengah terpejam Adit pun berjalan menuju kamar mandi, di lepaslah pakaiannya satu persatu dan di gantungkannya di gantungan belakang pintu kamar mandi, Adit memulai ritual-ritual mandinya, menggsok gigi, menyabun badan dan seterusnya.
Setelah ia mandi di pakailah seragam biru putihnya, karena ini hari Masa Orintasi Siswa (MOS) atau bisa di bilang masa perkenalan, sambal memakai sepatu ia pun memanasi kuda besinya, lalu ia start menuju sekolah barunya.
Sesampainya di sekolah Adit pun memarkir kuda besinya di sebelah kiri paling pojok, Adit turun dan berjalan menuju kelas X-A, kelas masih nampak sepi hanya terlihat oleh mata tiga perempuan dan 1satu laki-laki, Adit memasuki kelas dan dia duduk di depan anak laki-laki yang sama-sama memakai biru putih yang belum ia kenal.
Selang beberapa menit suasana kelas kian ramai, suara dengungan bel penanda pun berbunyi menandakan upacara bendera segera di mulai, kami bergegas memakai perlengkapan upacara dan menuju di mana tempat upacara di laksaanakan.
Adit berbaris di kelompoknya, berdiri tanpa ada yang ia kenal. Di tengah hikmatnya upacara bendera berlangsung, tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya, dia pun menoleh ke arah suara tersebut dan ternyata suara itu berasal dari anak laki-laki yang duduk di belakang bangkunya sewaktu di kelas tadi. Kemudian anak laki-laki itu menyodorkan tangan diajaknya berkenalan dan Adit pun membalas sodoran tangan anak laki-laki itu.
“Hai, aku Rino”. Ucap laki-laki di sebelah adit yang ternyata bernama Rino.
“aku Adit. Kamu teman satu kelas saya yang tadi kan?” jawab Adit.
Iya, kamu dari SMP mana?” sambung Rino.
Aku dari SMP 1 Watukumpul.” Ujar Adit.
Ohh aku juga punya saudara di Watukumpul.” Tegas Rino.

Karena keasyikan ngobrol mereka lupa bahwa berada dalam posisi hikmatnya upacara, tak sadar mereka sedang di perhatikan oleh guru yang ada di belakangnya. Kemudian di panggilnya ke belakang untuk keluar dari barisan, mereka di suruh berdiri untuk membuat barisan sendiri. Seketika wajah mereka berubah menjadi kemarahan karena malu di lihat oleh para guru dan anak-anak seakan menjadi pusat perhatian.
Upacara bendera hari ini pun berakhir, siswa-siswi di bubarkan dari barisan kemudian kembali ke kelas masing-masing. Kegiatan selanjutnya adalah perkenalan antar siswa di kelas kemudian pembentukan struktur kelas yang baru yang di bimbing oleh kakak kelas mereka yang bernama Angga dan Silvi. Entah karena apa, entah karena bagaimana Adit pun di pilih menjadi ketua kelas dan Rino menjadi wakil ketua kelas. Singkat cerita MOS pun berjalan dengan lancar mulai dari acara penerimaan siswa baru sampai penutupan MOS, dalam acara penutupan MOS tersebut di ikuti pengesahan sebagai siswa baru. Kami pun berjabat tangan dengan Kak Angga dan Kak Silvi pembimbing di kelas kami ketika acara MOS berlangsung, tak lupa kami mengucapkan terima kasih dan salam perkenalan.
Berjalannya waktu Adit dan Rino semakin akrab dan sampai keluarga meraka pun tahu kalau mereka berteman, banyak orang yang menyebut mereka kakak beradik bahkan ada yang menyebut mereka kembar. Entah di lihat dari segi apa banyak orang yang menyebutkan mereka mirip.

Sebulan telah berlalu, saat itu hari Minggu Adit pergi ke rumah Rino untuk mengerjakan tugas sekaligus bermain Playstation di rumah Rino. Di tengah keasyikan bermain playstation Adit dan Rino pun membicarakan seseorang gadis yang mereka anggap cantik di kelas X.
Rino : “Dit, kamu tahu nggak yang namanya Rizky di kelas X-C ?”
Adit : “Ohh iya tahu, yang pakai kerudung, badannya tinggi putih itu kan?”
Rino :“Iya benar itu.”
Adit : “Emang kenapa, Rin?”
Rino ; “Cantik iya dia?hehe”
Adit : “Hayo kamu suka ya ?”
Rino : “Hehe, ya enak aja di liat, bikin seger.”
Adit : “Apa’an emangnya jeruk seger?”
Kemudian datang ibu Rino untuk menghampiri mereka.
Ayo Rino, Adit kalian makan siang dulu. Ini tante sudah masak buat kalian, ayo Adit ikut makan sekalian.”
Dan mereka akhirnya pun makan siang bersama di rumah Rino. Selesai makan siang Adit berpamitan dengan Rino dan Ibunya Rino untuk pamit pulang. Cuaca sore itu mendung, menandakan akan turun hujan, Adit  menaiki kuda besinya melucur menuju rumah tercintanya di tengah perjalanan Adit melihat seorang gadis di samping kendaraannya dengan muka kebinggungan, Adit pun menghampiri gadis tersebut,
 “Kenapa mbak motornya?” sapa Adit.
“ Ini mas nggak tahu motornya kenapa tiba-tiba mati” jelas gadis tersebut.”
 Adit pun turun dari kuda besinya, dengan gagah Adit mencoba memperbaiki motor gadis tersebut, dengan gaya sok ngerti Adit mengutak utik motor tersebut, alhasil motor itu masih saja tidak mau menyala. Adit berkata pada si gadis :
Wah mbak mending di bawa kebengkel saja mbak ini motornya”.
 Tapi di sekitar sini kan tidak ada bengkel mas, adapun jauh mas, udah gitu mau turun hujan ini kayaknya.” jawab gadis tersebut.
 Iya sih mbak, yaudah gini aja mbak, motor mbak di titipin dulu di tempat temenku, kebetulan rumah temenku tidak jauh dari sini mbak, nanti atau besok pagi motornya di bawa ke bengkel, nanti mbak saya antar pulang.” Tawar Adit.
Tapi mas. kata gadis itu.
sebelum gadis itu selesai ngomong di sambar oleh Adit  Tapi apa mbak? Takut sama aku, aman mbak aman? Aku udah jinak kok.” saut adit sambil cengengesan.
 Yaudah mas kalau gitu, ,maaf banget udah ngrepotin” jawab gadis.
Yaelah enggak apa-apa keles, kan kita juga searah” celetuk Adit sambil tersenyum.

Akhirnya motor gadis itu pun di titipkan di rumah teman Adit, di putuskannya untuk pulang bareng dengan Adit, gadis itu pun membonceng Adit. Di atas aspal di bawah langit yang mendung kuda besi berjalan dengan arahan dari Adit, menuju rumah si gadis tersebut, di sela perjalanan menuju rumah mereka berbicang-bincang, Adit menanyakan nama gadis tersebut  dan gadis itu menjawab bahwa namanya adalah Dewi yang ternyata Dewi juga bersekolah sama seperti Adit tapi Dewi berada di kelas X-E, dari kejadian itulah mereka saling akrab di sekolah.
Keesokan harinya Adit berangkat ke sekolah, di pintu gerbang Adit bertemu dengan Rino, setelah memarkir motor kami berjalan menuju kelas lalu di jalan mereka bertemu dengan Dewi. Kemudian Adit mengenalkan Dewi kepada Rino, dan mereka pun akhirnya berjalan menuju kelas bersama, sampai mereka berpisah di depan kelas X-A, lalu Dewi berjalan sendirian menuju ke kelasnya. Lonceng sekolah telah berbunyi satu kali dan itu tandanya waktu istirahat telah tiba, anak-anak bergegas keluar kelas untuk menuju ke kantin sekolah. Adit dan Rino saat itu menuju ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang mereka pinjam kemarin, dan disana mereka juga bertemu Dewi yang sedang mencari buku untuk mengerjakan tugas di rumah.  Kemudian Adit dan Rino membantu Dewi untuk mencari buku di perpustakaan, sambil mencari mereka saling bercanda tawa. Kemudian Rino berhenti sejenak untuk membaca novel di kursi ruang perpustakaan, sedangkan Adit dan Dewi masih sibuk mencari buku yang akan di pinjam.  Dan tak lama kemudian Dewi menemukan buku tersebut, lalu mereka menghampiri Rino yang sedang duduk sambil membaca novel di kursi.

Adit bertanya kepada Rino, “Sedang apa kamu Rin?”
Sedang baca novel ini, kayaknya novelnya menarik  untuk di baca.”
Emang novel apa sih?”
Novel Supernova yang judulnya Ksatria Putri dan Bintang Jatuh.”
Emang ceritanya kayak gimana?
KEPO!”
Ahh kamu Rin, ditanyain serius juga.”
Dewi pun menyambar pembicaraan Rino dan Adit sambil memberikan buku , “ini lho baca sendiri biar tahu ceritanya, asyik lho ceritanya.”
Adit menjawab, “ ah kamu ikut-ikutan aja, iya iya ntar tak baca deh bikin penasaran aja .”
Rino dan Dewi pun tertawa cekikikan melihat ekspresi Adit.

Denting bel terdengar di telinga, menandakan jam istirahat telah berakhir untuk melanjutkan proses studi yang berlangsung, mereka bertiga kembali ke kelas masing-masing. Proses belajar pun terus berlangsung seperti biasanya, hingga jam pulang.
Dan akhirnya bel penanda bahwa pembelajaran hari ini telah berakhir pun terdengar. Hari-hari sekolah kami lewati bersama mulai dari berangkat sekolah, belajar bersama, istirahat bersama dan tak sadar kita telah melewati satu semester.
Siang itu bel penanda pulang telah terdengar,  Adit, Rino dan Dewi berjalan menuju ke parkiran, sambil berjalan menuju ke parkiran sekolah tiba-tiba Dewi menyampaikan sesuatu kepada Adit dan Rino, bahwa Dewi mengundang Adit dan Rino untuk makan malam di rumahnya nanti malam. Mendengar ujaran Dewi Adit nampak senang sekali karena ia bisa datang ke rumah Dewi untuk main sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga Dewi.
Sesampainya di rumah Adit bercerita dengan ibunya kalau dia nanti malam mau datang ke rumah Dewi untuk makan bersama, Adit meminta izin kepada ibunya, dan ibunya mengizinkannya. Mendapat restu dari ibunya Adit merasa senang, Adit mengabil hanphone dan mengetik pesan singkat ke pada Rino.
“ Rin, aku udah dapet izin dari ibuku, nanti kalau mau ke tempat Dewi bareng ya, nanti kamu aku jemput di rumahmu”
“Iya Dit, siapp” jawab Rino.
Malam datang, Adit bersiap dan berpamitan kepada ibunya, setelah menjemput Rino, mereka berdua menuju rumah kediaman Dewi. Sesampainya di rumah Dewi, Rino menekan tombol putih di sebelah pintu, Ting.. Tong.. Ting.. Tong.. Ting.. Tong.. 3 Kali Rino menekannya, Tidak lama kemudian di bukakanlah pintu oleh wanita memakai baju merah dan berkerudung hitam, beliau berkata :
Ini pasti Adit dan Rino temannya dewi kan?”
Rino dan Adit menjawab “Iya bu,kami teman Dewi”.
“Sini-sini masuk, udah di tunggu dari tadi loh, saya Ibunya Dewi.” Sambung Ibu Dewi
Rino dan Adit pun di persilahkan oleh ibunya Dewi untuk langsung masuk menuju ke ruang makan, mereka masuk ke ruang makan dan ternyata Dewi sudah duduk di situ menunggu kehadiran mereka. Lalu mereka duduk di kursi yang sudah di persiapkan.
Sebelum memulai makan mereka ngobrol sedikit tentang keluarga Dewi, dan tak berlangsung lama ibu Dewi memotong pembicaraan mempersilahkan mereka untuk menikmati hidangan yang sudah ada, akhirnya mereka mengambil piring masing-masing untuk menyantap hidangan yang ada.
Setelah makan selesai mereka menuju taman samping rumah, ngobrol-ngobrol, bercanda ria, dan di tengah canda Dewi tiba tiba duduk terdiam,  Adit pun mendekatinya dan bertanya :
Kamu kenapa Dew? ”.
Dewi menatap Adit dan Rino dan berkata “ Meski kita belum lama kenal, namun aku ngrasa kalian itu lebih dari teman”.
Maksud kamu Dew?” tanya Rino.
“Sebenarnya niat aku mengundang kalian kesini itu mau ngomong sesuatu sama kalian” sambung Dewi.
Rino dan Adit bingung apa yang di maksud Dewi, suasana yang tadinya di isi dengan tawa kini jadi sunyi, “ Rin,Dit, minggu depan aku sudah tidak di sini lagi, bapakku di pindah ke luar kota jadi aku pindah sekolah di sana” sambung Dewi lagi.
“Haha, kamu lagi lagi bercana Dew” celetuk Rino.
“Ini serius Dit, Rin” kata Dewi.
“Apa kita tidak akan ketemu lagi?” lanjut Adit
Dewi pun memeluk Adit dan Rino, dan berkata “ Entahlah, tapi aku tidak mau kita putus komunikasi, kalo ada libur aku mau kita kumpul lagi”

Diam tanpa kata, seakan mulut tersumpal beribu tanya, apakah ini nyata, apakah ini mimpi, mereka terdiam tanpa suara. Malam itupun berakhir dengan diam, Adit dan Rino pun berpamitan untuk pulang ke rumah.


Selamat Tinggal Sahabat
Sahabat, adalah orang yang tak pernah lelah mendengar keluh kesahku
Sahabat, kau begitu kokoh saat menjadi penopang tubuh ini
Hariku begitu indah setelah kehadiran dirimu
Begitu berwarna jalani cerita sang pencipta
Ditemani sang mentari kita lewati hari bersama
Kini aku hanaya menghitung hari
Hari dimana kita akan berpisah
Dengan jarak dan bentangan waktu yang cukup lama
Bahkan tidak untuk selamanya
Sahabat, saat tahu kita berpisah
Rasanya diri ini rapuh
Ku tak menyangka kita harus berpisah
Jujur aku tak sanggup dan tak terima ini
Untukmu aku ikhlas
Lanjutkanlah langkahmu
Dan kejar cita-citamu jauh di depan sana
Berlarilah sekencang-kencangnya untuk gapai asa-Mu
Selamat tinggal sahabat
Walaupun kita berpisah namun ketahuilah
Bahwa kita akan melihat sang rembulan yang sama
Dan disitulah sebenarnya kita tidak berpisah, sahabat


Setelah kejadian malam itu mereka tetap melakukan kegiatan studi mereka, sampai akhirnya perpisahan itu harus benar-benar terjadi.
Waktu terus berjalan, dengan kepergian Dewi bukan berarti pertemanan mereka berakhir, meskipun jauh terpisahkan kota, namun mereka tetap menjalin komunikasi, hingga suatu saat liburan  pun tiba, mereka berjanjian untuk ketemuan dan belibur di puncak untuk melepas rasa rindu dan menghabisakan waktu liburan disana.





Dara Terbuang Sia-Sia
Oleh : Andika Ayu Ponnita

Tangis Kegelapan
Imanku dangkal
Aku hilang akal
Kesucianku telah dirampas
Kebahahagianku hilang seketika
Dan aku hanya tersenyum nakal
Di balik gelapnya malam
Yang semakin pekat
Malam semakin bertambah malam
Menyelimuti kegundahan hati ini
Ku coba lari ke luar ruang
Merintih kesakitan, dan bertanya
Kepada Tuhan
Apakah ini takdir hidupku ?
Atau ini hanya sebagian permainan dari-Mu
Aku lelah, aku marah, aku malu
Aku jengah, menjadi diriku


“Selamat malam, Viona namaku, gadis cantik dari Desa Pamotan entah Kabupaten mana aku tak tahu. Tinggal bersama nenekku dalam satu rumah kecil tak semewah rumahmu, namun aku bahagia. Tapi, aku sekarang telah pergi meninggalkan nenekku. Aku kabur dari rumah karena rasa malu yang mengikuti setiap kedip mataku. Sutaji nama ayahku, dan Farida Nuraini nama ibuku. 23 tahun usia saya, tetapi tanggal lahir saya lupa”.

Kau tutupi ketelanjangan tubuhku yang molek dengan tubuhmu. Kemudian, kau mulai melepaskan pelukanmu perlahan-lahan setelah kenikmatanmu memuncak habis. Kugoda pria telanjang yang berbaring lelah di sebelahku dengan sentuhan tanganku ke dadanya. Ya, ini yang ketujuh malam ini, tak begitu nikmat. Mungkin karena aku terlalu  lelah.
Aku tidak memungkiri, pekerjaan yang kulakukan ini selalu kunikmati meskipun rasanya begitu menjijikkan, melelahkan bahkan menyadari kalau ini pekerjaan yang sangat berlumur dosa. Harus bekerja apalagi, pikiranku terlalu dangkal. Aku tak mau repot-repot untuk mencari pekerjaan lain, dan aku tak mau bekerja yang terlalu berat. Aku tak mau pusing.
Malam ini aku sudah selesai melayani tamu-tamuku. Tubuhku mulai berkeringat dengan aroma rose yang menggairahkan. “Cukup ya om, aku mau mandi dulu, “ ucapku sembari mengambil ponsel di meja samping tepat tidurku. Lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkahkan kaki ke kamar mandi.
Kuputar musik dangdut kesayangan di ponselku. Alunan musik terdengar syahdu dan nikmat di telingaku. Aku bernyanyi selaras dengan musik itu...
Basah, basah, basah, seluruh tubuh
Ah, ah, ah, menyentuh kalbu
Manis, manis, manis, semanis madu
Ah, ah, ah, menyentuh syahdu
Basah diri ini, basah hati ini
Kasih dan sayangmu menyirami hidupku bagaikan mandi madu
Ah, ah, ah, mandi madu
Kau taburkan sejuta pesona
Dirimu tak dapat kulupakan
Kau sirami bersemilah cinta
Bungapun kini mekarlah sudah
Manis manis cintamu, manis manis kasihmu
Diri ini bagai mandi madu

Begitu segar rasanya cucuran air dari shower kamar mandi hotel. Ku usapkan sabun dan busa-busanya keseluruh tubuhku yang telanjang. Di pojok kamar mandi terdapat cermin besar ukuran satu kali dua meter. Kuhadapkan tubuhku ke cermin itu. Kupadangi, begitu indah, putih, bersih dan sintal. Aku berlenggak lenggok erotis.
Orang-orang menyukai lekuk tubuhku yang menggiurkan ini. Menyukai syahdu desahanku. Menyukai lesung pipiku yang manis. Kata mereka ini adalah prestasi bagiku. Aku bisa menjadi primadona dengan tarif kelas atas.
Sabun tidak menjadikanku wangi. Aku tetaplah kotor dan menjijikkan. Perempuan yang memperdagangkan barang yang seharusnya diagungkan. Entah sudah berapa pria yang meniduriku. Mereka hanya ingin menikmati, tanpa memperdulikan batinku.
Mungkin aku tidak akan seperti ini jika dua preman jalang itu tidak merampas keperawananku sewaktu SMA. Waktu itu aku terpaksa pulang malam karena ada kegiatan bakti sosial yang diadakan di sekolahku. Jarak sekolah dengan rumahku cukup jauh. Jika pulang malam hari, aku harus naik ojek selama satu jam untuk sampai, karena malam hari sudah tidak ada angkutan umum lagi yang lewat. Ojek yang aku naiki tiba-tiba mogok di jalan, sehingga aku harus berjalan kaki menyusuri terowongan ramai yang biasa digunakan untuk balap liar. Dua preman mencoba menggodaku, mengikutiku dari belakang. Aku lari ketakutan. Mereka mengejarku sampai akhirnya aku tertangkap. Mereka menarik dan melepas pakaianku dengan paksa. Tanpa ampun. Saat itu juga harapanku musnah, harapanku melayang. Aku pulang dalam keadaan berantakan. Nenekku menangis kemudian sakit selama dua bulan. Telingaku panas mendengar celotehan tetangga dan teman-temanku di sekolah. Aku sangat malu. Lalu ku putuskan saja untuk berhenti sekolah. Kekasihku meninggalkanku entah kemana, dia jijik melihatku. Ya, saat itu aku memutuskan kabur dari rumah, meninggalkan nenek di rumah sendirian. Kalau aku bisa memilih, aku lebih memilih menjadi gadis yang gendut, hitam, dan jelek yang menjadi kebanggaan orang tua. Daripada menjadi gadis cantik yang ditinggalkan orang tua, sahabat dan kekasih hatiku karena harapan hidupku hancur karena diperkosa.

**
Aku sangat menyesal telah meninggalkan nenekku yang sudah  tua renta sendiri di rumah dalam keadaan malu karena ulah dan pekerjaanku sekarang ini. Setiap hari nenekku selalu mendengar cemoohan tetangga, dihina dan direndahkan.
Hatiku runtuh, jiwaku remuk, ruhku kehilangan akal mendengar kabar duka dari desaku. Ternaya nenekku meninggal karena busung lapar. Selama tiga tahun ini aku selalu mengirimkan uang untuknya, agar dia bisa memenuhi kebutuhannya di desa. Dan aku baru mengetahui ternyata selama ini nenekku sama sekali tak pernah menggunakan uang yang telah kuberikan selama ini. Baginya uangku haram jaddah, ya memang begitu kenyataannya dan saya mengakuinya. Entahlah pekerjaan yang kulakukan ini untuk apa? Apakah untuk kesenanganku, foya-foya, dan menghilangkan tekanan batinku. Akan tetapi, nenekku adalah harapanku, ia adalah motivasi terbesarku.
Aku semakin lelah dengan pekerjaanku. Berhenti, mungkinkah?

***
Aku masih memandangi keelokanku tubuhku, merenungkan sejenak masa laluku. Berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang telah kualami. Batinku semakin bergejolak, lamunanku semakin dalam dan penyesalanku begitu dahsyat.
“tok-tok-tok…!” Suara ketukan pintu kamar mandi yang menyadarkanku dari lamunan.
Viona, aku masuk ya?” Pinta pria empat puluh tahun yang baru saja tidur denganku. Namanya Yunus, aku biasa memanggilnya om Yus. Dia pria beristri dan punya dua anak. Pekerja kantoran dan punya banyak uang. Selain itu, usahanya ada dimana-mana, ia sering memberiku uang lebih dan barang-barang mahal. Sempat ia ingin aku menjadi miliknya satu-satunya, tidak bekerja seperti ini lagi, tetapi aku selalu menolaknya. Banyak resiko jika aku keluar dari pekerjaan ini.
“Jam kita sudah habis om, lain waktu kembali lagi,” ucapku ketus kepada om Yus.
Aku kembali ke cucuran air, mengusap tubuhku yang telah lelah. Kubiarkan om Yus berdiri di balik pintu untuk menungguku.
“Ayolah Viona…Dor-dor-dor-dor!’’ Suara gedor pintu semakin keras, ia sepertinya marah. Nadanya terdengar keras di telinga.
Kuseret handuk di gantungan kamar mandi, kubalutkan ke tubuhku. Rambut pirang panjangku kubiarkan tergerai basah menetes. Ku langkahkan kakiku ke pintu. Kubuka, kulihat sosok pria yang masih telanjang dan tersenyum lepas dari amarahnya.
“Ayo lagi sayang,” ucap om Yus kemudian melepas handukku dan kemudian memelukku.
Aku begitu lelah malam ini. Tak seperti biasanya, aku selalu memberikan senyuman terbaikku kepada semua tamu-tamuku. “Ayolah melenggok cantik,” ucap tamu-tamuku. Ketika itu, aku langsung mengeluarkan gerakan-gerakan erotis, menggoda, dan merayu. Selalu bersemangat dan bergairah. Akan tetapi, malam ini malam pertamaku kerja setelah seminggu cuti. Aku masih berduka dengan kematian nenekku.
Om Yus menggendongku secara paksa kemudian menjatuhkan tubuhku di tempat tidur. Aku sungguh lelah. Aku merasa marah. Aku tidak suka tamu-tamu yang memaksaku. Om Yus memainkan jari-jarinya dengan sentuhan lembut ke tubuhku secara perlahan-lahan. Aku mengernyitkan jidat. ‘’Apa-apaan ini? Aku bilang cukup om, aku sangat-sangat lelah malam ini. Tidakkah kau mengerti apa yang kurasakan?’’ 
Om Yus pun tidak mendengarkanku, dia mulai mencumbuiku. Entah kenapa saat itu aku benar-benar merasa muak dengan kata bercinta. Tak ada nafsu lagi untuk melakukan itu. Kudorong om Yus dengan kuat.
“Kenapa kamu ini Viona sayang, ayo bersenang-senang lagi, seminggu rasanya lama sekali menunggumu. Aku ingin mengobati rasa kangenku,” jelas om Yus kemudian mulai mencumbuiku lagi.
Amarahku telah memuncak, bayang-bayang dua preman itu hadir kembali dalam wujud om Yus. Aku ingin mencabik-cabik mukanya. Nafsuku untuk membunuh hadir. Ku tendang om Yus. Dia kesakitan. Aku berjalan menyeret selimut untuk menutupi tubuhku.
‘’Apakah kau menginginkan caraku yang kasar Viona? Ada apa denganmu? Mana sikapmu yang biasa manja kepadaku?” Tanya om Yus sambil mengelus-ngelus bagian yang sakit.
Aku tidak melihat om Yus dengan wujudnya, mukanya menjelma menjadi preman itu. Sangat memuakkan. Aku ingin balas dendam. Ku ambil botol alkohol yang ada di meja, lalu kupecahkan dan kutodongkan ke kepala om Yus.

Hey Viona, buang botol itu, mari kita pakai cara halus, sadarlah Viona!” ucap om Yus halus.
“Diam kau preman busuk, kubunuh kau!” bentakku sambil mengacungkan pecahan botol...
Om Yus menarikku, menendang kakiku. Aku lemah. Ia mengambil botol dari tanganku kemudian melemparnya ke arah jendela. Aku dibuatnya terlentang di kasur merasa kesakitan. Dia menggagahiku dengan keadaanku yang seperti ini. Aku kembali merasa menjadi orang yang lemah dan tidak bisa melawan. Aku pasrah, kutunggu dia sampai lengah. Aku menggeser tubuhku pelan-pelan mendekati tas, dan mengambil pisau di dalamnya. Preman busuk itu masih terdiam menghabiskan kenikmatannya.
‘’Preman busuk, enyahlah kau dari sini!’’ Aku berteriak sambil menusukkan pisau ke perutnya. Tanpa ada perlawanan darinya.
Muka dan tanganku penuh dengan darah. Aku merasa puas bisa membalas kemunafikanku. Aku tertawa lepas, tetapi aku kehilangan arah.
Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi. Meninggalkan mayat yang berbaring di kasur mahal hotel. Kunikmati ketelanjanganku sampai pagi dating menyapaku. Berendam di air hangat. Membasuh mukaku yang terkena darah. Sampai waktunya nanti ada orang yang menangkapku. Aku orang yang tak punya tujuan hidup lagi. Hidupku serasa tak berarti lagi, aku ingin berteriak kekuat tenagaku. Melontarkan kata-kata yang ingin aku lontarkan, agar puas hatiku.
Kini ku tak punya harapan lagi, harapanku hilang, terbang melayang. Semua yang ku sayangi telah meninggalkanku, bahkan sosok nenek yang sangat menyayangiku pun telah meninggalkanku. Aku sangat menyesal karena perbuatanku yang kabur dari rumah membuat nenekku semakin terpukul.
Dan dalam kesunyian malam ini ku bersujud meminta ampunan kepada-Mu, ku laksanakan sholat malam dan ku mohon ampunan. Segala dosa dan penyesalan selalu mengahantuiku,  ku coba merenung dalam sepi. Mungkin dosa yang ku lakukan tak bisa di amapuni lagi, tapi aku percaya bahwa Tuhan Maha Pengampun dan maha segalanya.

Puing Bunga
Bersama senyum tipis ini
Lirik kata yang singgah mengiris hati
Sungguh, ku hanya sehelai sampah di jalanan
Yang telah terlelap merajut diri
Hingga harus menikmati pahitnya
Hidup ini, di pelupuk jiwa ini
Amarah menjelma badai dahsyat
Dalam penyesalan yang begitu mendalam
Kata-kata hampa sudah tak bermakna
Selaksa menjadi mayat terluka
Dengan sejuta harapan dan impian
Namun, apa daya jika sang bunga
Telah hancur di masa emasnya
Kini hasrat telah meronta, merana nan mederita
Bunga pun hancur dalam keptusasaan dan penyesalan
Yang kian mendalam

Ku tulis segala keluh kesahku, dan ku nikmati sisa hidup ini di dalam penjara jahaman ini. Mungkin hanya keajaiban yang bisa menolongku untuk bangkit dari kegelapan yang meyelimuti selama ini. Aku wanita jalang yang berlumur dosa apakah masih pantas hidup di dunia suci ini ? Dan masih adakah sedikit kebahagian untukku di luar sana ? ujarku kepada Sang Pencipta.

***
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar