“INI
SEBUAH CERITA”
Oleh : Andika Ayu Ponnita
Cerita
ini tidak menarik untuk di ceritakan, dan tidak layak di baca, cerita ini hanya
sebuah
jawaban dari kata sekian.
Tidak
punya awalan bahkan ahkiran.
Berambut
ikal, berpostur tinggi tidak dan pendek
pun tidak, dia hanya seseorang lelaki yang berumur 17 tahun, namun memiliki
keinginan yang sangat tinggi.
Dia
lahir dari golongan keluarga biasa, di beri nama oleh orang tuanya Rio Aditya Paska, dan biasa di sapa
dengan panggilan Adit, dia sekarang duduk kelas 3 di bangku Sekolah
Menengah Atas (SMA) di kotanya. Dan
dalam hitungan hari Surat dari Mendiknas akan menentukan titik puncak dari
perjuangan studi selama ini yang diampuh 3 tahun silam.
Adit lahir
dari tiga bersaudara, kakak perempuan dan adek laki-laki.
Di kala malam
Kau dan aku
berdiang pada api unggun
Yang membara
dalam dada
Lambangkan
hasrat pada titik puncak rasa
Lirih tawa
beradu desah bersama butiran peluh
Dan kau bisikan
kata yang tak ku mengerti
Bius tanpa gerak
hanya hembusan frasa yang ku dengar
Lirih namun
menggetarkan
Tanpa ku sadari
fajar menjemput malam
Suara gemuruh
sang merpati kembali menyapa
Tahun
2010 adalah tahun di mana cerita ini di mulai, namun bukan dari awal cerita.
Awal
atau akhir itu bukan suatu yang harus namun itu pasti.
Hati Tanpa Pikir
Alur
gerak mengukur mundur
Menerawang
awan hati
Kosong
tiada penghuni
Lekat
mata menerang benderang
Hanya
sedebu benarnya perbuatan
Disisi
gelapnya tiada lagi cahaya
Palsu
itu terlalu nyata
Karena
tabir hatipun tiada terbuka
Seperti
kisah..!!
Dunia
ini laksana permainan saja
Terlalu
rakus lidah memijat bibir
Cuman
mengepulkan asap lamunan
dari
cerobong bibir tembakau yang terbakar sesal
Terlalu
mudah diri ini tidak mengaku salah
Meski
sejatinya kita berpijak pada alfa salah yang nyata
Dit,
Adit bangun udah siang,
ini kan hari pertama kamu masuk sekolah. “ Ujar Nina (kakak Adit)“
Iya
iya kak ini bangun.. “balas Adit”
Udah
buruan bangun, jangan malas-malasan.. “ setak Nina lagi”
Iya
kak, bawel amat sih.
“ balas Adit menuju kamar mandi”
Sambil mata setengah terpejam Adit pun berjalan menuju
kamar mandi, di lepaslah pakaiannya satu persatu dan di gantungkannya di
gantungan belakang pintu kamar mandi, Adit
memulai ritual-ritual
mandinya, menggsok gigi, menyabun badan dan seterusnya.
Setelah ia mandi di pakailah seragam biru putihnya,
karena ini hari Masa Orintasi Siswa
(MOS) atau bisa di bilang masa perkenalan,
sambal memakai sepatu ia pun memanasi kuda besinya, lalu ia start menuju
sekolah barunya.
Sesampainya di sekolah Adit pun memarkir kuda
besinya di sebelah kiri paling pojok, Adit
turun dan berjalan menuju kelas X-A, kelas masih nampak sepi hanya terlihat
oleh mata tiga perempuan dan 1satu laki-laki,
Adit memasuki kelas dan
dia duduk di depan anak laki-laki yang sama-sama memakai biru putih yang belum
ia kenal.
Selang beberapa menit suasana kelas kian ramai,
suara dengungan bel penanda pun berbunyi menandakan upacara bendera segera di mulai,
kami bergegas memakai perlengkapan upacara dan menuju di mana tempat upacara di
laksaanakan.
Adit berbaris di kelompoknya, berdiri tanpa ada yang
ia kenal. Di tengah hikmatnya upacara bendera berlangsung, tiba-tiba ada suara
yang mengagetkannya, dia pun menoleh ke arah suara tersebut dan ternyata suara
itu berasal dari anak laki-laki yang duduk di belakang bangkunya sewaktu di
kelas tadi. Kemudian anak laki-laki itu menyodorkan tangan diajaknya berkenalan
dan Adit pun membalas sodoran tangan anak laki-laki itu.
“Hai,
aku Rino”. Ucap laki-laki di sebelah adit yang ternyata bernama Rino.
“aku
Adit. Kamu teman satu kelas saya yang tadi kan?” jawab Adit.
“Iya, kamu dari SMP
mana?” sambung Rino.
“Aku dari SMP 1
Watukumpul.” Ujar Adit.
“Ohh aku juga punya saudara
di Watukumpul.” Tegas Rino.
Karena keasyikan ngobrol mereka lupa bahwa berada
dalam posisi hikmatnya upacara, tak sadar mereka sedang di perhatikan oleh guru
yang ada di belakangnya. Kemudian di panggilnya ke belakang untuk keluar dari
barisan, mereka di suruh berdiri untuk membuat barisan sendiri. Seketika wajah
mereka berubah menjadi kemarahan karena malu di lihat oleh para guru dan
anak-anak seakan menjadi pusat perhatian.
Upacara bendera hari ini pun berakhir, siswa-siswi di
bubarkan dari barisan kemudian kembali ke kelas masing-masing. Kegiatan
selanjutnya adalah perkenalan antar siswa di kelas kemudian pembentukan
struktur kelas yang baru yang di bimbing oleh kakak kelas mereka yang bernama
Angga dan Silvi. Entah karena apa, entah karena bagaimana Adit pun di pilih
menjadi ketua kelas dan Rino menjadi wakil ketua kelas. Singkat cerita MOS pun
berjalan dengan lancar mulai dari acara penerimaan siswa baru sampai penutupan
MOS, dalam acara penutupan MOS tersebut di ikuti pengesahan sebagai siswa baru.
Kami pun berjabat tangan dengan Kak Angga dan Kak Silvi pembimbing di kelas
kami ketika acara MOS berlangsung, tak lupa kami mengucapkan terima kasih dan
salam perkenalan.
Berjalannya waktu Adit dan Rino semakin akrab dan
sampai keluarga meraka pun tahu kalau mereka berteman, banyak orang yang
menyebut mereka kakak beradik bahkan ada yang menyebut mereka kembar. Entah di
lihat dari segi apa banyak orang yang menyebutkan mereka mirip.
Sebulan telah berlalu, saat itu hari Minggu Adit
pergi ke rumah Rino untuk mengerjakan tugas sekaligus bermain Playstation di
rumah Rino. Di tengah keasyikan bermain playstation Adit dan Rino pun
membicarakan seseorang gadis yang mereka anggap cantik di kelas X.
Rino
: “Dit, kamu tahu nggak yang namanya Rizky di kelas X-C ?”
Adit
: “Ohh iya tahu, yang pakai
kerudung, badannya tinggi putih itu kan?”
Rino
:“Iya benar itu.”
Adit
: “Emang kenapa, Rin?”
Rino
; “Cantik iya dia?hehe”
Adit
: “Hayo kamu suka ya ?”
Rino
: “Hehe, ya enak aja di
liat, bikin seger.”
Adit
: “Apa’an emangnya jeruk
seger?”
Kemudian
datang ibu Rino untuk menghampiri mereka.
“Ayo Rino, Adit kalian
makan siang dulu. Ini tante sudah masak buat kalian, ayo Adit ikut makan
sekalian.”
Dan mereka akhirnya pun makan siang bersama di rumah
Rino. Selesai makan siang Adit berpamitan dengan Rino dan Ibunya Rino untuk
pamit pulang. Cuaca sore itu mendung, menandakan akan turun hujan, Adit menaiki kuda besinya melucur menuju rumah tercintanya
di tengah perjalanan Adit
melihat seorang gadis di samping kendaraannya dengan muka kebinggungan, Adit
pun menghampiri gadis tersebut,
“Kenapa mbak motornya?” sapa Adit.
“
Ini mas nggak tahu motornya kenapa tiba-tiba mati” jelas gadis tersebut.”
Adit pun turun dari kuda besinya, dengan gagah
Adit mencoba memperbaiki motor gadis tersebut, dengan gaya sok ngerti Adit
mengutak utik motor tersebut, alhasil motor itu masih saja tidak mau menyala.
Adit berkata pada si gadis :
“
Wah mbak mending di bawa
kebengkel saja mbak ini motornya”.
“Tapi
di sekitar sini kan tidak ada bengkel mas, adapun jauh mas, udah gitu mau turun
hujan ini kayaknya.”
jawab gadis tersebut.
“Iya
sih mbak, yaudah gini aja mbak, motor mbak di titipin dulu di tempat temenku,
kebetulan rumah temenku tidak jauh dari sini mbak, nanti atau besok pagi motornya
di bawa ke bengkel, nanti mbak saya antar pulang.” Tawar Adit.
“Tapi mas.” kata
gadis itu.
sebelum
gadis itu selesai ngomong di sambar oleh Adit
“ Tapi
apa mbak? Takut
sama aku, aman mbak
aman? Aku udah jinak kok.” saut adit sambil
cengengesan.
“ Yaudah
mas kalau gitu, ,maaf banget udah ngrepotin” jawab gadis.
“
Yaelah enggak apa-apa keles, kan kita juga searah” celetuk
Adit sambil tersenyum.
Akhirnya motor gadis itu pun di titipkan di rumah teman Adit, di
putuskannya untuk pulang bareng dengan Adit,
gadis itu pun membonceng Adit. Di atas aspal di bawah langit yang mendung kuda
besi berjalan dengan arahan dari Adit, menuju rumah si gadis tersebut, di sela
perjalanan menuju rumah mereka berbicang-bincang, Adit menanyakan nama gadis
tersebut dan gadis itu menjawab bahwa
namanya adalah Dewi yang ternyata Dewi juga bersekolah sama seperti Adit tapi
Dewi berada di kelas X-E, dari kejadian itulah mereka saling akrab di sekolah.
Keesokan harinya Adit berangkat ke sekolah, di pintu
gerbang Adit bertemu dengan Rino, setelah memarkir
motor kami berjalan menuju kelas lalu di jalan mereka bertemu dengan Dewi.
Kemudian Adit mengenalkan Dewi kepada Rino, dan mereka pun akhirnya berjalan
menuju kelas bersama, sampai mereka berpisah di depan kelas X-A, lalu Dewi
berjalan sendirian menuju ke kelasnya. Lonceng sekolah telah berbunyi satu kali
dan itu tandanya waktu istirahat telah tiba, anak-anak bergegas keluar kelas
untuk menuju ke kantin sekolah. Adit dan Rino saat itu menuju ke perpustakaan
untuk mengembalikan buku yang mereka pinjam kemarin, dan disana mereka juga
bertemu Dewi yang sedang mencari buku untuk mengerjakan tugas di rumah. Kemudian Adit dan
Rino membantu Dewi untuk mencari buku di perpustakaan, sambil mencari mereka
saling bercanda tawa. Kemudian Rino berhenti sejenak untuk membaca novel di
kursi ruang perpustakaan, sedangkan Adit dan Dewi masih sibuk mencari buku yang
akan di pinjam. Dan tak lama kemudian
Dewi menemukan buku tersebut, lalu mereka menghampiri Rino yang sedang duduk
sambil membaca novel di kursi.
Adit
bertanya kepada Rino, “Sedang
apa kamu Rin?”
“Sedang baca novel ini,
kayaknya novelnya menarik untuk di
baca.”
“Emang novel apa sih?”
“Novel Supernova yang
judulnya Ksatria Putri dan Bintang Jatuh.”
“Emang ceritanya kayak
gimana?
“KEPO!”
“Ahh kamu Rin, ditanyain
serius juga.”
Dewi
pun menyambar pembicaraan Rino dan Adit sambil memberikan buku , “ini lho baca
sendiri biar tahu ceritanya, asyik lho ceritanya.”
Adit
menjawab, “ ah kamu ikut-ikutan aja, iya iya ntar tak baca deh bikin penasaran
aja .”
Rino
dan Dewi pun tertawa cekikikan melihat ekspresi Adit.
Denting bel terdengar di telinga, menandakan jam
istirahat telah berakhir untuk melanjutkan proses studi yang berlangsung,
mereka bertiga kembali ke kelas masing-masing. Proses belajar pun terus
berlangsung seperti biasanya, hingga jam pulang.
Dan akhirnya bel penanda bahwa pembelajaran hari ini
telah berakhir pun terdengar. Hari-hari sekolah kami lewati bersama mulai dari
berangkat sekolah, belajar bersama, istirahat bersama dan tak sadar kita telah
melewati satu semester.
Siang itu bel penanda pulang telah terdengar, Adit, Rino dan Dewi berjalan menuju ke
parkiran, sambil berjalan menuju ke parkiran sekolah tiba-tiba Dewi menyampaikan
sesuatu kepada Adit dan Rino, bahwa Dewi mengundang Adit dan Rino untuk makan
malam di rumahnya nanti malam. Mendengar ujaran Dewi Adit nampak senang sekali
karena ia bisa datang ke rumah Dewi untuk main sekaligus bersilaturahmi dengan
keluarga Dewi.
Sesampainya di rumah Adit bercerita dengan ibunya
kalau dia nanti malam mau datang ke rumah Dewi untuk makan bersama, Adit
meminta izin kepada ibunya, dan ibunya mengizinkannya. Mendapat restu dari
ibunya Adit merasa senang, Adit mengabil hanphone dan mengetik pesan singkat ke
pada Rino.
“
Rin, aku udah dapet izin dari ibuku, nanti kalau mau ke tempat Dewi bareng ya, nanti kamu
aku jemput di rumahmu”
“Iya
Dit, siapp” jawab Rino.
Malam datang, Adit bersiap dan berpamitan kepada
ibunya, setelah menjemput Rino, mereka berdua menuju rumah kediaman Dewi.
Sesampainya di rumah Dewi, Rino menekan tombol putih di sebelah pintu, Ting..
Tong.. Ting.. Tong.. Ting.. Tong.. 3 Kali Rino menekannya, Tidak lama kemudian
di bukakanlah pintu oleh wanita memakai baju merah dan berkerudung hitam,
beliau berkata :
“
Ini pasti Adit dan Rino
temannya dewi kan?”
Rino
dan Adit menjawab “Iya bu,kami teman Dewi”.
“Sini-sini
masuk, udah di tunggu dari tadi loh, saya Ibunya Dewi.” Sambung Ibu Dewi
Rino dan Adit pun di persilahkan oleh ibunya Dewi
untuk langsung masuk menuju ke ruang makan, mereka masuk ke ruang makan dan
ternyata Dewi sudah duduk di situ menunggu kehadiran mereka. Lalu mereka duduk
di kursi yang sudah di persiapkan.
Sebelum memulai makan mereka ngobrol sedikit tentang
keluarga Dewi, dan tak berlangsung lama ibu Dewi memotong pembicaraan
mempersilahkan mereka untuk menikmati hidangan yang sudah ada, akhirnya mereka
mengambil piring masing-masing untuk menyantap hidangan yang ada.
Setelah makan selesai mereka menuju taman samping
rumah, ngobrol-ngobrol, bercanda ria, dan di tengah canda Dewi tiba tiba duduk
terdiam, Adit pun mendekatinya dan
bertanya :
“
Kamu kenapa Dew? ”.
Dewi
menatap Adit dan Rino dan berkata “ Meski kita belum lama kenal, namun aku
ngrasa kalian itu lebih dari teman”.
“Maksud kamu Dew?” tanya
Rino.
“Sebenarnya
niat aku mengundang kalian kesini itu mau ngomong sesuatu sama kalian” sambung
Dewi.
Rino
dan Adit bingung apa yang di maksud Dewi, suasana yang tadinya di isi dengan
tawa kini jadi sunyi, “ Rin,Dit, minggu depan aku sudah tidak di sini lagi,
bapakku di pindah ke luar kota jadi aku pindah sekolah di sana” sambung Dewi
lagi.
“Haha,
kamu lagi lagi bercana Dew” celetuk Rino.
“Ini
serius Dit, Rin”
kata Dewi.
“Apa
kita tidak akan ketemu lagi?” lanjut Adit
Dewi
pun memeluk Adit dan Rino, dan berkata “ Entahlah, tapi aku tidak mau kita
putus komunikasi, kalo ada libur aku mau kita kumpul lagi”
Diam tanpa kata, seakan mulut tersumpal beribu tanya,
apakah ini nyata, apakah ini mimpi, mereka terdiam tanpa suara. Malam itupun
berakhir dengan diam, Adit dan Rino pun berpamitan untuk pulang ke rumah.
Selamat Tinggal Sahabat
Sahabat,
adalah orang yang tak pernah lelah mendengar keluh kesahku
Sahabat,
kau begitu kokoh saat menjadi penopang tubuh ini
Hariku
begitu indah setelah kehadiran dirimu
Begitu
berwarna jalani cerita sang pencipta
Ditemani
sang mentari kita lewati hari bersama
Kini
aku hanaya menghitung hari
Hari
dimana kita akan berpisah
Dengan
jarak dan bentangan waktu yang cukup lama
Bahkan
tidak untuk selamanya
Sahabat,
saat tahu kita berpisah
Rasanya
diri ini rapuh
Ku
tak menyangka kita harus berpisah
Jujur
aku tak sanggup dan tak terima ini
Untukmu
aku ikhlas
Lanjutkanlah
langkahmu
Dan
kejar cita-citamu jauh di depan sana
Berlarilah
sekencang-kencangnya untuk gapai asa-Mu
Selamat
tinggal sahabat
Walaupun
kita berpisah namun ketahuilah
Bahwa
kita akan melihat sang rembulan yang sama
Dan
disitulah sebenarnya kita tidak berpisah, sahabat
Setelah kejadian malam itu mereka tetap melakukan
kegiatan studi mereka, sampai akhirnya perpisahan itu harus benar-benar
terjadi.
Waktu terus berjalan, dengan kepergian Dewi bukan
berarti pertemanan mereka berakhir, meskipun jauh terpisahkan kota, namun
mereka tetap menjalin komunikasi, hingga suatu saat liburan pun tiba, mereka berjanjian untuk ketemuan
dan belibur di puncak untuk melepas rasa rindu dan menghabisakan waktu liburan disana.
Dara Terbuang Sia-Sia
Oleh : Andika Ayu Ponnita
Tangis
Kegelapan
Imanku dangkal
Aku hilang akal
Kesucianku
telah dirampas
Kebahahagianku
hilang seketika
Dan
aku
hanya
tersenyum
nakal
Di
balik gelapnya malam
Yang
semakin pekat
Malam
semakin bertambah malam
Menyelimuti
kegundahan hati ini
Ku
coba lari ke luar ruang
Merintih
kesakitan, dan bertanya
Kepada
Tuhan
Apakah
ini takdir hidupku ?
Atau
ini hanya sebagian permainan dari-Mu
Aku
lelah, aku marah, aku malu
Aku
jengah, menjadi diriku
“Selamat malam, Viona namaku, gadis cantik dari Desa
Pamotan entah Kabupaten mana aku tak tahu. Tinggal bersama nenekku dalam satu
rumah kecil tak semewah rumahmu, namun aku bahagia. Tapi, aku sekarang telah
pergi meninggalkan nenekku. Aku kabur dari rumah karena rasa malu yang mengikuti
setiap kedip mataku. Sutaji nama ayahku, dan Farida Nuraini nama ibuku. 23
tahun usia saya, tetapi tanggal lahir saya lupa”.
Kau
tutupi ketelanjangan tubuhku yang molek dengan
tubuhmu. Kemudian, kau mulai melepaskan pelukanmu perlahan-lahan setelah kenikmatanmu memuncak
habis. Kugoda pria telanjang yang berbaring lelah di sebelahku dengan sentuhan
tanganku ke dadanya. Ya, ini yang ketujuh malam ini, tak begitu nikmat. Mungkin karena aku terlalu lelah.
Aku
tidak memungkiri, pekerjaan yang kulakukan ini selalu kunikmati meskipun rasanya
begitu menjijikkan, melelahkan bahkan menyadari kalau ini pekerjaan yang sangat
berlumur dosa. Harus bekerja apalagi, pikiranku
terlalu dangkal. Aku tak mau repot-repot
untuk mencari pekerjaan lain, dan aku tak
mau bekerja yang terlalu berat. Aku tak mau pusing.
Malam ini aku sudah selesai melayani tamu-tamuku. Tubuhku mulai berkeringat dengan
aroma rose yang menggairahkan. “Cukup
ya om, aku mau mandi dulu, “ ucapku sembari mengambil ponsel di meja samping tepat tidurku. Lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkahkan kaki
ke kamar mandi.
Kuputar musik dangdut
kesayangan di ponselku. Alunan musik terdengar
syahdu dan nikmat di telingaku. Aku bernyanyi
selaras dengan musik itu...
Basah, basah, basah, seluruh tubuh
Ah, ah, ah, menyentuh kalbu
Manis, manis, manis, semanis madu
Ah, ah, ah, menyentuh syahdu
Basah diri ini, basah hati ini
Kasih dan sayangmu menyirami hidupku bagaikan mandi madu
Ah, ah, ah, mandi madu
Kau taburkan sejuta pesona
Dirimu tak dapat kulupakan
Kau sirami bersemilah cinta
Bungapun kini mekarlah sudah
Manis manis cintamu, manis manis kasihmu
Diri ini bagai mandi madu
Begitu
segar rasanya cucuran air dari shower kamar mandi hotel. Ku usapkan sabun dan busa-busanya
keseluruh tubuhku yang telanjang. Di pojok kamar
mandi terdapat cermin besar ukuran satu kali dua meter. Kuhadapkan
tubuhku ke cermin itu.
Kupadangi, begitu indah, putih, bersih dan sintal. Aku berlenggak lenggok
erotis.
Orang-orang
menyukai lekuk tubuhku yang menggiurkan
ini. Menyukai syahdu desahanku. Menyukai lesung pipiku
yang manis. Kata mereka ini adalah prestasi bagiku. Aku bisa menjadi primadona
dengan tarif kelas atas.
Sabun
tidak menjadikanku wangi. Aku tetaplah kotor dan menjijikkan. Perempuan yang
memperdagangkan barang yang seharusnya diagungkan. Entah sudah berapa pria yang
meniduriku. Mereka hanya ingin menikmati, tanpa memperdulikan batinku.
Mungkin
aku tidak akan seperti ini jika dua
preman jalang
itu tidak merampas keperawananku sewaktu
SMA. Waktu itu aku terpaksa pulang malam karena ada kegiatan bakti sosial yang
diadakan di sekolahku. Jarak sekolah dengan rumahku cukup jauh.
Jika pulang malam hari, aku harus naik ojek selama satu jam untuk sampai,
karena malam hari sudah tidak ada angkutan umum lagi yang lewat. Ojek yang aku
naiki tiba-tiba mogok di jalan, sehingga aku harus
berjalan kaki menyusuri terowongan ramai yang biasa digunakan untuk balap liar. Dua preman mencoba menggodaku, mengikutiku
dari belakang. Aku lari ketakutan. Mereka mengejarku sampai akhirnya aku
tertangkap. Mereka menarik dan melepas pakaianku dengan paksa. Tanpa ampun.
Saat itu juga harapanku musnah, harapanku
melayang. Aku pulang dalam keadaan berantakan.
Nenekku menangis kemudian sakit selama dua
bulan. Telingaku
panas mendengar celotehan tetangga dan teman-temanku
di sekolah. Aku sangat malu. Lalu ku putuskan saja untuk berhenti sekolah.
Kekasihku meninggalkanku entah kemana,
dia jijik melihatku. Ya, saat itu aku memutuskan kabur dari rumah, meninggalkan nenek di
rumah sendirian. Kalau aku bisa memilih, aku lebih memilih menjadi gadis yang gendut, hitam, dan
jelek yang menjadi kebanggaan orang tua. Daripada
menjadi gadis cantik
yang ditinggalkan orang tua, sahabat dan
kekasih hatiku karena
harapan hidupku
hancur karena diperkosa.
**
Aku
sangat menyesal telah meninggalkan nenekku
yang sudah tua renta sendiri di rumah dalam keadaan malu
karena ulah dan pekerjaanku sekarang
ini. Setiap hari nenekku selalu mendengar cemoohan tetangga, dihina dan
direndahkan.
Hatiku
runtuh, jiwaku remuk, ruhku kehilangan akal mendengar kabar duka dari desaku. Ternaya nenekku meninggal karena
busung lapar. Selama tiga
tahun ini aku selalu mengirimkan uang untuknya, agar dia bisa memenuhi
kebutuhannya di desa.
Dan aku baru mengetahui
ternyata selama ini nenekku
sama sekali tak pernah
menggunakan uang yang telah kuberikan selama ini. Baginya uangku haram
jaddah, ya memang begitu kenyataannya
dan saya mengakuinya. Entahlah pekerjaan yang kulakukan
ini untuk apa? Apakah untuk kesenanganku,
foya-foya, dan menghilangkan tekanan batinku. Akan tetapi, nenekku adalah harapanku,
ia adalah motivasi terbesarku.
Aku
semakin lelah dengan pekerjaanku. Berhenti, mungkinkah?
***
Aku masih memandangi keelokanku tubuhku,
merenungkan sejenak masa laluku. Berpikir tentang
peristiwa-peristiwa yang telah
kualami. Batinku semakin bergejolak, lamunanku
semakin dalam
dan penyesalanku begitu dahsyat.
“tok-tok-tok…!”
Suara ketukan pintu kamar mandi yang menyadarkanku dari lamunan.
“Viona, aku masuk ya?” Pinta
pria empat puluh tahun yang baru saja tidur denganku. Namanya Yunus, aku biasa memanggilnya om Yus.
Dia pria beristri dan punya dua anak. Pekerja kantoran
dan punya banyak uang. Selain itu, usahanya
ada dimana-mana, ia sering memberiku uang lebih dan
barang-barang mahal. Sempat ia ingin aku menjadi miliknya satu-satunya, tidak bekerja
seperti ini lagi, tetapi aku selalu
menolaknya. Banyak resiko jika aku keluar dari pekerjaan ini.
“Jam
kita sudah habis om, lain waktu kembali lagi,” ucapku ketus kepada om Yus.
Aku
kembali ke cucuran air, mengusap tubuhku yang telah lelah. Kubiarkan om Yus berdiri di balik pintu untuk menungguku.
“Ayolah
Viona…Dor-dor-dor-dor!’’
Suara gedor pintu semakin keras, ia sepertinya marah. Nadanya terdengar keras di telinga.
Kuseret
handuk di gantungan kamar mandi,
kubalutkan ke
tubuhku. Rambut pirang panjangku kubiarkan tergerai basah menetes.
Ku langkahkan
kakiku ke pintu. Kubuka,
kulihat sosok pria yang
masih telanjang dan tersenyum lepas dari amarahnya.
“Ayo
lagi sayang,” ucap om Yus kemudian melepas
handukku dan kemudian memelukku.
Aku
begitu lelah malam ini. Tak seperti biasanya, aku selalu memberikan senyuman
terbaikku kepada semua tamu-tamuku.
“Ayolah melenggok
cantik,” ucap tamu-tamuku. Ketika itu, aku langsung mengeluarkan
gerakan-gerakan erotis, menggoda, dan merayu. Selalu bersemangat dan bergairah.
Akan tetapi, malam ini malam pertamaku kerja setelah seminggu cuti. Aku masih
berduka dengan kematian nenekku.
Om
Yus menggendongku secara paksa kemudian menjatuhkan tubuhku di tempat
tidur. Aku sungguh lelah. Aku merasa marah. Aku tidak suka tamu-tamu yang
memaksaku. Om Yus
memainkan jari-jarinya dengan sentuhan lembut ke tubuhku secara perlahan-lahan.
Aku mengernyitkan jidat. ‘’Apa-apaan
ini? Aku bilang cukup om, aku sangat-sangat lelah malam ini. Tidakkah kau
mengerti apa yang kurasakan?’’
Om Yus pun tidak mendengarkanku, dia mulai mencumbuiku. Entah
kenapa saat itu aku benar-benar merasa
muak dengan kata bercinta.
Tak ada nafsu lagi untuk melakukan itu. Kudorong om Yus dengan kuat.
“Kenapa
kamu ini Viona sayang,
ayo bersenang-senang lagi, seminggu rasanya lama sekali menunggumu. Aku ingin mengobati rasa kangenku,” jelas om Yus
kemudian mulai mencumbuiku lagi.
Amarahku telah
memuncak, bayang-bayang dua
preman itu hadir kembali dalam wujud om Yus. Aku ingin mencabik-cabik mukanya. Nafsuku untuk
membunuh hadir. Ku tendang om Yus. Dia kesakitan. Aku berjalan menyeret selimut untuk
menutupi tubuhku.
‘’Apakah kau menginginkan caraku
yang kasar Viona?
Ada apa denganmu? Mana sikapmu yang biasa manja kepadaku?” Tanya om Yus sambil mengelus-ngelus
bagian yang sakit.
Aku
tidak melihat om Yus
dengan wujudnya, mukanya menjelma
menjadi preman itu. Sangat memuakkan. Aku ingin
balas dendam. Ku ambil
botol alkohol yang ada di
meja, lalu kupecahkan dan kutodongkan ke kepala
om Yus.
“Hey Viona, buang botol itu, mari
kita pakai cara halus, sadarlah Viona!”
ucap om Yus halus.
“Diam
kau preman busuk, kubunuh kau!” bentakku sambil mengacungkan pecahan botol...
Om Yus menarikku, menendang kakiku. Aku lemah. Ia mengambil
botol dari tanganku kemudian melemparnya ke arah jendela. Aku dibuatnya
terlentang di kasur merasa kesakitan. Dia menggagahiku dengan keadaanku yang
seperti ini. Aku kembali merasa menjadi orang yang lemah dan tidak
bisa melawan. Aku pasrah, kutunggu dia sampai lengah. Aku menggeser tubuhku
pelan-pelan mendekati tas, dan mengambil pisau di dalamnya. Preman busuk itu
masih terdiam menghabiskan kenikmatannya.
‘’Preman busuk, enyahlah kau dari sini!’’ Aku
berteriak sambil menusukkan pisau ke perutnya. Tanpa ada perlawanan darinya.
Muka dan tanganku penuh
dengan darah. Aku merasa puas
bisa membalas kemunafikanku.
Aku tertawa lepas,
tetapi aku kehilangan arah.
Kulangkahkan
kakiku ke kamar mandi. Meninggalkan mayat yang berbaring di kasur mahal hotel. Kunikmati ketelanjanganku
sampai pagi dating menyapaku.
Berendam di air hangat. Membasuh mukaku yang terkena darah. Sampai waktunya nanti ada
orang yang menangkapku. Aku orang yang tak punya tujuan hidup lagi. Hidupku serasa tak berarti lagi, aku ingin berteriak
kekuat tenagaku. Melontarkan kata-kata yang ingin aku lontarkan, agar puas
hatiku.
Kini ku tak punya harapan lagi, harapanku hilang, terbang melayang. Semua
yang ku sayangi telah meninggalkanku, bahkan sosok nenek yang sangat
menyayangiku pun telah meninggalkanku. Aku sangat menyesal karena perbuatanku
yang kabur dari rumah membuat nenekku semakin terpukul.
Dan dalam kesunyian malam ini ku bersujud meminta ampunan kepada-Mu, ku
laksanakan sholat malam dan ku mohon ampunan. Segala dosa dan penyesalan selalu
mengahantuiku, ku coba merenung dalam
sepi. Mungkin dosa yang ku lakukan tak bisa di amapuni lagi, tapi aku percaya
bahwa Tuhan Maha Pengampun dan maha segalanya.
Puing
Bunga
Bersama
senyum tipis ini
Lirik
kata yang singgah mengiris hati
Sungguh,
ku hanya sehelai sampah di jalanan
Yang
telah terlelap merajut diri
Hingga
harus menikmati pahitnya
Hidup
ini, di pelupuk jiwa ini
Amarah
menjelma badai dahsyat
Dalam
penyesalan yang begitu mendalam
Kata-kata
hampa sudah tak bermakna
Selaksa
menjadi mayat terluka
Dengan
sejuta harapan dan impian
Namun,
apa daya jika sang bunga
Telah
hancur di masa emasnya
Kini
hasrat telah meronta, merana nan mederita
Bunga
pun hancur dalam keptusasaan dan penyesalan
Yang
kian mendalam
Ku tulis segala keluh kesahku, dan ku nikmati sisa hidup ini di dalam
penjara jahaman ini. Mungkin hanya keajaiban yang bisa menolongku untuk bangkit
dari kegelapan yang meyelimuti selama ini. Aku wanita jalang yang berlumur dosa
apakah masih pantas hidup di dunia suci ini ? Dan masih adakah sedikit
kebahagian untukku di luar sana ? ujarku kepada Sang Pencipta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar